Oleh: Ghaida Mutmainnah
Di sudut ruangan, seorang remaja duduk termenung dengan tatapan kosong. Jemarinya sibuk menelusuri layar ponsel, menggulir tanpa henti berbagai video singkat, meme lucu, hingga gosip selebriti. Ia tertawa sendiri, lalu mendadak terdiam, kemudian menggeser lagi ke video selanjutnya—begitu terus, berjam-jam. Di sekelilingnya, orang tua, saudara, dan dunia nyata nyaris tak lagi ada dalam kesadarannya. Fenomena ini bukanlah cerita satu orang, tetapi potret jutaan manusia di era digital yang terjebak dalam budaya scroll tanpa henti.
Era digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, bekerja, dan menghibur diri. Dari pagi hingga malam, tangan kita tak pernah jauh dari gawai. Mulai dari bangun tidur dengan membuka notifikasi, menyantap makan sambil menonton konten, hingga tidur dengan ditemani suara video yang tak henti-henti. Aktivitas ini membentuk kebiasaan baru: doomscrolling, istilah untuk menggambarkan kebiasaan menggulir layar tanpa tujuan, berulang-ulang, bahkan ketika kita tahu hal itu tak lagi menyenangkan atau bermanfaat.
Media sosial yang awalnya diciptakan untuk menyambung silaturahmi, kini menjadi lautan konten tak terbatas yang menarik perhatian kita setiap detik. Algoritma dirancang begitu pintar untuk menampilkan apa yang ingin kita lihat, membuat kita betah berlama-lama. Namun, dampaknya tak selalu menyenangkan. Tanpa disadari, kita mulai melupakan dunia nyata, lupa menyapa orang di depan mata, kehilangan waktu produktif, dan bahkan mengalami penurunan kualitas hidup secara mental maupun sosial.
Dulu, anak-anak bermain di lapangan, remaja mengobrol di warung kopi, dan keluarga berkumpul sambil berbagi cerita. Kini, interaksi itu tergantikan oleh emoji, chat singkat, dan video call yang dingin. Kita lebih sering menunduk ke layar daripada menatap wajah satu sama lain. Bahkan dalam satu meja makan, semua anggota keluarga bisa sibuk dengan ponsel masing-masing tanpa saling bicara.
Ironisnya, di dunia maya kita tampak begitu sosial: memberi like, komen, bahkan membuat konten pribadi. Tapi di dunia nyata, kita semakin asing satu sama lain. Rasa empati menurun, karena kita terbiasa menyaksikan tragedi hanya sebagai tontonan. Kita jadi pasif terhadap realitas sekitar karena merasa telah “peduli” cukup dengan membagikan unggahan atau mengetik "stay strong" di kolom komentar.
Dampak lainnya adalah distorsi waktu. Satu jam terasa sebentar ketika mengakses media sosial. Tanpa terasa, waktu produktif kita tersedot oleh aktivitas yang tidak memberi nilai tambah nyata. Banyak orang mengeluhkan kurangnya waktu untuk belajar, berolahraga, atau bertemu keluarga—padahal waktu itu habis untuk aktivitas virtual yang tak mereka sadari.
Scroll tanpa henti juga berdampak serius pada kesehatan mental. Otak kita tidak dirancang untuk menerima informasi dalam jumlah besar secara cepat dan terus-menerus. Setiap kali kita menggulir layar dan melihat sesuatu yang baru, otak melepaskan dopamin zat kimia yang membuat kita merasa senang. Lama-lama, kita menjadi ketagihan.
Namun, kebahagiaan itu semu. Setelah scroll berjam-jam, kita justru merasa lelah, kosong, dan tidak puas. Kita mulai membandingkan hidup kita dengan kehidupan orang lain di media sosial. Foto-foto indah, tubuh sempurna, gaya hidup mewah—semuanya seolah menciptakan standar palsu yang membuat kita merasa kurang. Akibatnya, banyak orang mengalami kecemasan sosial, rasa rendah diri, dan depresi, terutama remaja.
Tak hanya itu, otak kita menjadi terlalu terbiasa dengan stimulasi cepat. Kita jadi sulit fokus, sulit membaca panjang, bahkan sulit menikmati percakapan biasa karena otak kita mengharapkan sesuatu yang cepat dan menghibur, sebagaimana yang biasa disuguhkan di dunia digital.
Fenomena ini tidak sepenuhnya salah teknologi. Media sosial dan internet adalah alat. Masalah muncul ketika kita kehilangan kendali atas alat tersebut, membiarkannya mengatur hidup kita alih-alih sebaliknya.
Sudah saatnya kita kembali memeluk dunia nyata. Mulailah dengan hal sederhana: batasi waktu penggunaan media sosial, buat jadwal tanpa gawai, aktif dalam kegiatan fisik dan sosial. Nikmati kembali percakapan tatap muka, suara tawa asli, aroma buku di perpustakaan, atau bahkan keheningan yang menenangkan.
Latih kembali otak kita untuk menikmati momen lambat makan tanpa gawai, berjalan tanpa headphone, atau sekadar duduk diam tanpa membuka ponsel.
Solusi dari fenomena ini bukan memusuhi teknologi, melainkan mengelola penggunaannya dengan bijak. Diperlukan kesadaran digital kemampuan untuk memahami dampak penggunaan teknologi terhadap diri sendiri dan orang lain.
Ajarkan anak-anak dan remaja tentang penggunaan ponsel yang sehat. Bangun budaya digital yang positif, di mana kita menggunakan media sosial untuk hal yang bermanfaat, bukan untuk pelarian. Kita juga perlu membangun kembali kemampuan untuk hadir secara penuh dalam kehidupan nyata: mendengar dengan utuh, melihat dengan empati, dan merasakan dengan tulus.
Scroll tanpa henti mungkin memberi hiburan sekejap, tapi kehidupan sejati tidak terjadi di layar ia hadir dalam pelukan keluarga, dalam langkah kaki menuju tujuan, dan dalam tatapan hangat antar manusia. Kita tak bisa menolak teknologi, tapi kita bisa menolak untuk diperbudak olehnya.
Mari kendalikan kembali arah hidup kita. Matikan layar sejenak. Angkat kepala. Lihat dunia di sekitar. Karena mungkin, yang kita cari-cari di layar, selama ini telah hadir nyata di depan mata hanya saja, kita terlalu sibuk menggulir layar untuk menyadarinya.


Tambahkan Komentar