Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan kuliner tradisional. Setiap daerah memiliki makanan khas yang bukan hanya lezat, tetapi juga mengandung nilai budaya, sejarah, dan kearifan lokal. Salah satu makanan tradisional yang mulai jarang dikenal oleh generasi muda adalah pipis kopyor. Makanan ini mungkin tidak sepopuler klepon, nagasari, atau lemper, namun keberadaannya menyimpan cita rasa yang khas sekaligus filosofi sederhana tentang kesederhanaan dan tradisi.
Pipis kopyor merupakan salah satu jajanan pasar tradisional yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Nama “pipis” dalam bahasa Jawa merujuk pada makanan basah yang dikukus dan dibungkus dengan daun pisang. Sedangkan kata “kopyor” merujuk pada jenis kelapa muda yang dagingnya tidak utuh, melainkan lembut dan sedikit encer akibat kelainan genetik pada buah kelapa tersebut. Kelapa kopyor justru sangat digemari karena rasanya yang manis alami dan teksturnya yang unik. Gabungan antara adonan tepung yang lembut, santan kelapa yang gurih, dan isian kelapa kopyor menciptakan perpaduan rasa yang khas: manis, gurih, dan harum daun pisang yang menyatu secara alami.
Secara visual, pipis kopyor sekilas mirip dengan nagasari, namun memiliki isian dan rasa yang berbeda. Pipis kopyor biasanya menggunakan campuran tepung beras, tepung tapioka, santan, gula pasir, dan kelapa kopyor parut atau disuwir. Adonan tersebut dibungkus daun pisang membentuk bungkusan segitiga atau pipih, lalu dikukus hingga matang. Proses ini menghasilkan kue yang lembut, harum, dan legit. Tidak jarang, pipis kopyor juga dipadukan dengan aroma vanila atau pandan untuk menambah cita rasa. Karena cara pembuatannya masih mengandalkan teknik tradisional, kue ini menjadi simbol ketelatenan dan kesabaran dalam meracik makanan.
Di masyarakat Jawa, pipis kopyor sering hadir dalam acara-acara penting seperti kenduri, tahlilan, hajatan, atau syukuran keluarga. Makanan ini bukan hanya menjadi sajian pelengkap, melainkan juga simbol rasa syukur dan kebersamaan. Dalam konteks sosial, berbagi makanan seperti pipis kopyor mencerminkan nilai gotong royong, di mana masyarakat saling membantu menyiapkan sajian dalam sebuah acara. Pipis kopyor, seperti makanan tradisional lainnya, tidak diproduksi secara massal di pabrik, tetapi dibuat langsung oleh tangan-tangan ibu rumah tangga yang sudah mewarisi resepnya secara turun-temurun.
Namun, sayangnya, popularitas pipis kopyor kini mulai meredup. Di era serba cepat dan digital seperti sekarang, makanan tradisional perlahan tergeser oleh camilan modern yang lebih praktis dan menarik secara tampilan. Camilan instan, makanan beku, dan makanan viral di media sosial menjadi primadona di kalangan anak muda. Pipis kopyor yang sederhana, tidak berwarna mencolok, dan tidak bisa dikirim lewat aplikasi daring, kian tersisih dari pusat perhatian. Bahkan, tidak sedikit generasi muda yang tidak tahu apa itu pipis kopyor, bagaimana rasanya, atau bagaimana cara membuatnya. Ini menjadi tantangan besar dalam upaya pelestarian kuliner lokal yang mulai kehilangan tempat di negeri sendiri.
Padahal, pipis kopyor bukan hanya makanan, tetapi juga bagian dari identitas budaya. Nilai-nilai yang terkandung dalam proses pembuatan pipis kopyor, seperti kesabaran, ketelitian, dan cinta terhadap alam, perlu terus diwariskan. Daun pisang sebagai pembungkus alami mencerminkan keselarasan manusia dengan lingkungan. Tidak menggunakan plastik atau bahan kimia, pipis kopyor mengajarkan prinsip keberlanjutan jauh sebelum isu lingkungan menjadi tren global. Bahkan dari segi kesehatan, makanan tradisional seperti pipis kopyor cenderung lebih aman dan minim bahan tambahan dibandingkan camilan kekinian yang banyak mengandung pengawet dan pemanis buatan.
Untuk menjaga keberlangsungan pipis kopyor dan makanan tradisional sejenis, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak. Sekolah-sekolah dapat mulai mengenalkan makanan ini dalam pelajaran prakarya atau muatan lokal. Pemerintah daerah dapat mengangkat pipis kopyor dalam festival kuliner, lomba memasak, atau pameran budaya. Para pelaku UMKM juga bisa mengemas ulang pipis kopyor dengan sentuhan modern agar menarik di pasar yang lebih luas. Bahkan, anak-anak muda kreatif bisa membuat konten edukatif tentang cara membuat pipis kopyor di media sosial sebagai bentuk promosi budaya. Pelestarian tidak harus selalu formal—dengan kreativitas, makanan tradisional bisa tetap hidup di tengah zaman yang berubah.
Pipis kopyor adalah contoh nyata bagaimana makanan sederhana bisa menjadi simbol budaya yang kuat. Ia tidak sekadar mengisi perut, tapi juga mengisi ruang-ruang kenangan dan identitas bangsa. Ketika kita memakan pipis kopyor, kita sedang mencicipi rasa masa lalu rasa yang dibungkus daun pisang, dimasak dengan sabar, dan dihidangkan dengan cinta. Menjaga pipis kopyor tetap hidup bukan hanya tentang mempertahankan makanan, tetapi juga tentang menjaga cerita, tradisi, dan kearifan lokal yang semakin langka. (Foto: Suara Merdeka).
Tambahkan Komentar