Oleh : Ratna Sari
Mentari pagi belum sepenuhnya menghangatkan Dusun Kembang Arum, namun aroma malam masih samar tercium bersama embun yang membasahi dedaunan. Di salah satu rumah bambu yang sederhana, tangan-tangan renta Mbok Darmi sudah cekatan menorehkan malam pada kain mori. Setiap titik, setiap garis, adalah ekspresi dari hati yang terpaut erat pada tradisi.
Mbok Darmi bukan sekadar pengrajin batik. Ia adalah penjaga warisan. Sejak gadis, ia telah mewarisi ilmu membatik dari ibunya, dan ibunya dari neneknya. Pola-pola klasik seperti Parang Rusak, Kawung, dan Truntum mengalir begitu saja dari ujung cantingnya, seolah-olah jari-jemarinya memiliki ingatan sendiri. Namun, batik Mbok Darmi memiliki kekhasan. Ia selalu menambahkan sentuhan motif lokal, seperti bunga-bunga endemik Kembang Arum atau siluet gunung yang menjulang di kejauhan, menjadikan setiap helai kainnya unik dan bercerita.
Desa Kembang Arum perlahan berubah. Anak-anak muda lebih tertarik pada gemerlap kota. Suara gawai lebih sering terdengar daripada alunan gamelan. “Untuk apa membatik, Mbok?” tanya Bimo, cucu Mbok Darmi, suatu sore. “Penghasilannya kecil, Bu. Lebih baik kerja di pabrik.”
Hati Mbok Darmi teriris. Ia tahu, masa depan adalah perubahan, namun ia tak ingin budaya luntur begitu saja. Ia teringat pesan mendiang suaminya, “Batik itu bukan cuma kain, Darmi. Batik itu cerita. Cerita tentang kita, tentang leluhur kita.”
Suatu hari, seorang etnografer muda bernama Anya datang ke Kembang Arum. Ia terpesona oleh keindahan alam dan keramahan penduduknya, namun yang paling menarik perhatiannya adalah batik-batik Mbok Darmi yang ia lihat dipajang di balai desa. Anya, dengan pengetahuannya tentang budaya, segera menyadari nilai artistik dan filosofis yang terkandung dalam setiap motif.
Anya menghabiskan berhari-hari di rumah Mbok Darmi, mempelajari setiap tahapan proses membatik, mendengarkan cerita di balik setiap motif. Mbok Darmi, yang awalnya pendiam, perlahan membuka diri. Ia bercerita tentang filosofi hidup yang terukir dalam pola Truntum—kesetiaan yang tak pernah padam. Ia menjelaskan makna Parang Rusak—perlawanan terhadap kejahatan. Anya merekam setiap cerita, setiap gerakan, dengan penuh kekaguman.
Anya kemudian membantu Mbok Darmi membuat situs web sederhana dan akun media sosial. Ia mengambil foto-foto batik Mbok Darmi yang indah, menuliskan deskripsi lengkap tentang motif dan filosofinya. Tak disangka, responsnya luar biasa. Pesanan datang dari berbagai kota, bahkan dari luar negeri. Banyak yang tertarik pada keunikan motif lokal dan kisah di baliknya.
Bimo, yang awalnya skeptis, mulai melihat perubahan. Ia terkejut melihat ibunya menerima telepon dari pembeli di Jakarta, atau melihat foto-foto batik ibunya dipuji di internet. Perlahan, ia mulai membantu Mbok Darmi menyiapkan kain, mencampur pewarna, bahkan sesekali mencoba menorehkan malam. Jemarinya memang masih kaku, namun di matanya sudah terlihat percikan minat.
Kembang Arum kembali berdenyut. Rumah-rumah tetangga yang dulu sepi, kini kembali terdengar ketukan canting. Anak-anak muda mulai bertanya tentang pelatihan membatik. Desa itu bukan hanya hidup dari pertanian, tapi juga dari warisan budaya yang tak ternilai. Batik Mbok Darmi bukan lagi sekadar kain, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, melestarikan identitas, dan membawa cahaya baru bagi Dusun Kembang Arum. Mbok Darmi tersenyum, melihat cucunya kini dengan bangga memamerkan sehelai kain batik yang baru saja diselesaikannya. Ia tahu, obor itu telah berpindah tangan, dan cerita tentang batik akan terus terukir, tak lekang oleh waktu.
Tambahkan Komentar