Oleh : M Novianto Dwi K
Mahasiswa Prodi PAI STAINU Temanggung

Mengutip dari pidato Bung Karno, bahwa ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawanya’. Kata itu sangatlah tepat. Karena kemerdekaan yang kita nikmati  saat ini tidaklah lepas dari perjuangan para pahlawan yang telah mendahului kita. Tanpa mereka mungkin saat ini kita belum merdeka. Maka sudah seharusnya bagi kita untuk menghormati jasa mereka.

Minimnya Literasi Sejarah
Menghargai jasa para pahlawan, bukan berarti  harus menjadi seperti mereka dengan membawa senjata di medan perang. Cara paling sederhana untuk menumbuhkan rasa cinta kita pada para pahlawan yaitu dengan mempelajari sejarah kehidupan, perjuangan, serta jasa-jasanya. Dengan begitu kita bisa mengenal lebih dekat sosok para pahlawan bangsa ini, dan berupaya  meneruskan apa yang menjadi cita-citanya.

Mustahil bagi kita akan memberi sebuah penghargaan kepada seorang pahlawan tanpa kita mengetahui apa  jasa-jasanya kepada bangsa dan negara. Jadi kita harus tahu sejrah tentang mereka. Akan tetapi hal itu juga tidaklah mudah, karena berbicara tentang sejarah artinya kita kembali ke masa lalu, di mana kita tidak berada pada posisi itu. Jika dulu masih banyak menjumpai saksi hidup sejarah yang bisa diwawancarai secara langsung, tapi kini seiring berjalanya waktu,  para pelaku sejarahpun gugur satu persatu.

Hal ini tentu membuat keprihatinan sendiri untuk kita, di mana ketika hal itu dibiarkan begitu saja sejarah perjalanan bangsa ini akan punah. Bisa jadi generasi penerus tidak mengenal lagi sosok-sosok pahlawan, dan lebih parah lagi mereka tidak akan percaya dengan adanya hal itu, sejarah pahlawan hanya dianggap sebagai cerita belak. karena tidak ada data yang valid.  kabar itu hanya datang dari mulut-kemulut.
Seharusnya setiap momen sejarah penting harus diabadikan melalui tulisan. Di mana tulisan ini akan menjadi saksi kuat didukung dengan data-data kongkrit dari setiap kejadian. Sehingga generasi selanjutnya akan tetap bisa membaca sejarah tersebut. Akan tetapi hal itu belum dilakukan secara maksimal, sehingga banyak sejarah yang hilang bak ditelan bumi, banyak tokoh-tokoh pahlawan yang sebenarnya memiliki jasa besar, tapi karena tidak ada pengabadian dalam tulisan mereka terlupakan begitu saja.

Seperti kita ketahui dulu di zaman penjajahan banyak kiai dan santri yang ikut andil dalam peperangan melawan penjajah, mereka terjun secara langsung di medan perang. Selain bebrapa kiai yang mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional, seperti contoh KH Hasyim As’ary sebenarnya juga masih banyak kiai-kiai lain, missal kiai Subkhi yang terkenal dengan Bambu Runcingnya, yang diakui keampuhanya oleh belanda. Akan tetapi sampai saat ini belum masuk dalam jajaran pahlawan nasional.

Berangkat dari situ seharusnya kita mulai sadar akan hal itu, kita harus mulai budayakan literasi, tulis setiap kejadian dan kumpulkan dalam arsip sejarah. Tapi sampai saat ini literasi di Indonesia masih rendah. Berdasar hasil survey penelitian dari 61 negara Indonesia menempati posisi  ke 60 dalam peringkat membaca. (Sing Penting Nulis Terus 2017).  Hal ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita.

Literasi Menjadi Solusi
Menulislah maka kamu akan menjadi abadi, istilah itu sangatlah tepat. Dimana suatu kejadian sekecil apapun ketika itu ditulis dan dibukukan akan menjadi abadi, peristiwanya akan bisa dibaca oleh orang yang mungkin tidak menyaksikan kejadian tersebut. Tapi sebesar apapun sebuah peristiwa, ketika disitu tidak ada dokumentasi penulisan, maka sejarah itupun akan hilang seiring berjalanya waktu. Dan suatu saat peristiwa tersebut hanya dianggap sebagi sebuah cerita belaka.

Contoh saja, fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim As’ary untuk melawan penjajah. Yang kemudian dengan fatwa itu terjadi pertempuran di Surabaya dan sekitarnya, kemudian dengan adanya perang itu pada setiap tanggal 10 November diperingati sebagi Hari Pahlawan Nasional.  Akan tetapi dalam sejarah yang muncul adalah sosok Bung Tomo sebagai Pahlawan, sedangkan sosok KH Hasyim As’yary beserta para kiai dan santri tidak ditulis dalam perjalan sejarah Nasional. Seakan tidak berperan sama sekali.

Padahal mereka sangat berjasa dalam pertempuran itu, banyak kiai dan santri yang ikut andil dalam pertempuran itu, bahkan pembunuh jendral malaby pada waktu itu adalah seorang santri dari Tebu Ireng, karena kepolosanya yang tidak paham tentang peraturan perang yang tidak membolehkan membunuh seorang jendral, tapi karena semangat jihat yang luar biasa dia melawan siapa saja yang ada di hadapanya.
           
Berangkat dari situ, beberapa kader NU mencoba mengumpulkan kembali data-data yang ada, mempelajari sejarah dengan berbagai referensi, dan menuliskannya. Seperti yang dilakukan oleh KH Agus Sunyoto ia menulis buku yang mengupas tentang Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ary. Di mana dalam buku  tersebut mengupas secara tuntas sejarah pertempuran di Surabaya tersebut. Selain itu ada juga film yang berjudul ‘Sang Kiai’ yang menceritakan sosok KH Hasyim Asy’ary.

Dengan upaya-upaya tersebut terbukti mampu menguak tentang sejarah yang sempat hilang. Sejarah pejuangan kiai dan santri kini mulai terbukti dengan adanya tulisan-tulisan tersebut. Bahkan saat ini sejak tahun 2015 setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Ini adalah bukti bahwa sejarah perjuangan Kiai dan Santri benar-benar ada dan di akui oleh pemerintah.

Bagikan :

Tambahkan Komentar