Oleh Muhammad Charis Fuad
Mahasiswa PAI STAINU Temanggung
Santri memiliki peran penting dalam sejarah
kemerdekaan Republik Indonesia setelah keluarnya Resolusi Jihad yang dimotori
oleh KH Hasyim Asy'ari yang juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober
1945. Resolusi Jihad inilah yang menjadi pemantik semangat juang para santri
untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari para sekutu
yang mencoba merongrong kembali kemerdekaan bangsa. Melalui pesantren yang
didirikannya dan juga jamiyah NU, KH Hasyim Asyari menanamkan nasionalisme dan
patriotisme yang kelak mengobarkan api perlawanan rakyat terhadap kolonialisme
yang telah mengakar berabad-abad lamanya.
Imperialisme dan hegemoni kolonial terhadap rakyat,
tidak hanya terbatas pada aspek lahir seperti ekonomi, politik dan sebagainya,
tetapi lebih dari itu, telah menguasai kesadaran dan rasionalitas bangsa
Indonesia.Oleh karena itu, pendidikan dan dakwah dipandang merupakan sarana
yang efektif untuk mengubah kesadaran rakyat dan membangkitkannya dari
ketertindasan selama itu. Melalui pengajaran dan fatwa-fatwanya, KH Hasyim
Asyari menyemai kesadaran untuk bangkit dan melawan, membebaskan diri dari
penjajahan, dan pada akhirnya berhasil menggelorakan revolusi fisik merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketua Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Surabaya
A. Muhibbin Zuhri menilai revolusi fisik pada tahun 1945 merupakan momentum
penting yang menjadi pangkal tolak Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan
berdaulat secara politik. Sejarah mencatat, peperangan terjadi di hampir semua
kota penting di Jawa untuk mempertahankan kedaulatan negara yang belum lama
diproklamirkan, yaitu pada 17 Agustus tahun itu. Hal penting yang patut
dikemukakan oleh Muhibbin ialah bahwa gerakan perlawanan fisik yang masif itu
pasti didorong oleh nilai-nilai kolektif yang membangkitkan keberanian untuk
melakukan pengorbanan jiwa, raga dan harta.
Fatwa jihad yang kemudian menjadi
resolusi jihad yang dikeluarkan oleh NU,
diyakini memiliki kontribusi yang signifikan dalam mengkristalkan semangat
nasionalisme itu melalui implementasi nilai-nilai relegius di dalamnya. Hal ini karena NU memiliki basis sosial yang kuat di Jawa, sehingga
resonansi fatwa tersebut dapat memobilisir kekuatan tempur masyarakat muslim. Proposisi
tersebut menurut Muhubbin menemukan relevansinya ketika ditarik hubungan kronologis
antara peristiwa pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya dengan resolusi jihad
yang diumumkan pada pertemuan ulama-ulama NU se Jawa dan Madura pada tanggal
21-22 Oktober 1945, atau 18 hari sebelumnya.
"Sayangnya, sejarah nasional Indonesia tidak mencantumkan
catatan penting mengenai resolusi jihad sebagai konteks peperangan yang
akhirnya ditandai secara nasional sebagai Hari Pahlawan tersebut. Hilangnya
fragmen penting itu, merupakan bias dari historiografi sejarah nasional yang
lebih bernuansa elitis dan politis," kata Muhibbin yang juga salah satu
pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya ini.
Fatwa jihad KH Hasyim Asyari tersebut menurut catatan
Muhibbin Zuhri sekaligus menampilkan cara berfikir fiqh yang matang. Menurutnya,
sejak proklamasi kemerdekaan, Pemerintah RI adalah pemerintah yang sah sesuai
syariat, dan oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa negeri Indonesia adalah negeri Islam. Oleh karena
itu, usaha untuk merampas kemerdekaan itu adalah usaha yang harus dilawan
menurut titah Islam. Di sinilah, idiom keagamaan berupa "jihad fi
Sabilillah" melawan kembalinya kekuatan penjajah menemukan relevansi
konseptualnya.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Hajj [22] : 39.
Selain itu, sesuai pendapat al-Anshari dalam kitab Fath al-Wahhab berdasar nass
yang sahih : " fardlu `ain ialah wajib yang mesti dikerjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, yaitu apabila musuh telah menyerbu ke negeri
Islam".
Adapun mereka yang mati dalam jihad menegakkan titah
Allah adalah mati di jalan Allah dan mereka mati syahid. Sikap tersebut, kata
Muhibbin, merupakan ekspresi dari pandangan keagamaan sunni yang lebih
mengedepankan substansi Islam daripada formalitas. Dalam pandangan politik
(Fiqh Siyasi) Sunni, berlakunya syariat Islam lebih penting dibanding
menampilkan simbol-simbol Islam. Bentuk negara, termasuk di dalamnya mekanisme
suksesi (nasb al-imamah) boleh bermacam-macam, tetapi yang penting adalah
berlakunya nilai-nilai universal Islam dan mengandung jaminan kebebasan bagi
umat Islam untuk melaksanakan ibadahnya.
Lebih lanjut, fatwa jihad yang dikeluarkan oleh KH
Hasyim Asyari didasari oleh gaya berfikir seorang faqih yang mencerminkan
penguasaan terhadap metode istinbath hukum serta penguasaan konteks kesejarahan
dimana rumusan hukum yang dihasilkannya tersebut diterapkan.Ia tidak sekadar
mengambil referensi hasil ijtihad ulama klasik, tetapi lebih dari itu,
mengeksplorasi sumber-sumber otentik ajaran Islam dengan mempertimbangkan
konteks kesejarahannya.Ketokohan KH Hasyim Asyari diakui oleh semua kalangan,
bahkan pemikirannya tidak hanya dapat diterima oleh kalangan umat Islam dari
berbagai organisasi yang sebelumnya berbeda orientasi ideologis, tetapi
menginspirasi dan sekaligus diterima sebagai landasan bersikap menghadapi
kekuatan imperialisme saat itu.
Kredibilitasnya merupakan perpaduan
antara karakter keulamaannya yang kuat, juga komitmen kebangsaan, kepemimpinan,
dan wawasan kenegaraannya yang luas. Sehingga fatwa
jihad yang ia keluarkan, mencerminkan dengan jelas komitmennya yang kuat pada
kemaslahatan, sebagaimana juga menjadi tujuan syariat itu sendiri. Pada saat
itu, KH Hasyim Asyari menjadi Rais Akbar NU dan sekaligus Rais Syuriyah
Masyumi, pemikiran NU dan Masyumi menyatu untuk sebuah perjuangan besar izzul
Islam wa al-Muslimin dalam bingkai NKRI.
Santri untuk Indonesia,Jika menilik semangat dari
resolusi jihad tersebut, maka selayaknya Hari Santri yang diperingati setiap 22
Oktober bukan hanya milik Nahdlatul Ulama melainkan milik Indonesia.Hal ini
sesuai pernyataan Katib Aam PBNU Gus Yahya Cholil Staquf dalam Seminar
memeringati Hari Santri Nasional di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya di
Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.Menurut Gus Yahya Staquf, santri bukan
hanya trademark NU, tetapi santri selalu mewarnai kehidupan masyarakat
Nusantara. Selain itu, santri itu bukan milik NU saja, tapi milik semua
kalangan, golongan yang cinta Tanah Air dan ke-Indonesiaan.
Memang selama ini pondok pesantren banyak dikelola NU,
tapi bukan berarti santrinya hanya milik NU. Tradisi santri ini sebenarnya
sudah ada sejak dahulu. Santri adalah tradisi intelektual Nusantara yang tumbuh
selama berabad-abad sejak zaman pra-Islam. Sebelum ada pendidikan model barat
yang diadopsi saat ini, pendidikan Nusantara terjadi di padepokan-padepokan
dengan resi-resi. Para resi tinggal dengan murid-muridnya, dan sebelumnya
bernama cantrik.
Oleh karena itu, menurut anggota Dewan Pertimbangan
Presiden RI (Wantimpres) ini, peringatan Hari Santri Nasional menjadi bukti
dukungan keberadaan pondok pesantren melalui regulasi dan kebijakan. Tujuannya
menghidupkan kembali tradisi intelektual Nusantara, melalui pondok pesantren
bisa semakin meningkat kapasitasnya.
Selain itu,Gus Yahya juga meyakini Indonesia memiliki
ketahanan sosial budaya luar biasa untuk mengatasi antagonisme yang merebak
melalui media sosial. Banyak krisis yang telah dilalui sejak zaman Majapahit
hingga saat ini, tapi bisa diselesaikan dengan baik.Untuk itu, ia berharap Hari
Santri bisa diperingati siapapun yang merawat tradisi intelektual Nusantara
pada dirinya, termasuk Muhammadiyah. Unsur utama tradisi ini adalah dinamika
kecendekiaan.Ciri dinamika kecendekiaan ini adalah gagasan-gagasan intelektual
besar yang membentuk peradaban Nusantara ini, contohnya adalah identitas
kerajaan Majapahit sebagai Bhinneka Tunggal Ika yang tidak menggunakan agama
sebagai identitas kerajaannya.
Santri Masa Kini Peristiwa 10
November 1945 yang dikenang sebagai Hari Pahlawan menjadi peristiwa heroik, di
mana santri turut andil di dalamnya mengaplikasikan Resolusi Jihad untuk
mempertahankan NKRI yang dimotori oleh Bung Tomo dengan pidato
menggelegarnya.Tidak hanya itu, dalam proses kemerdekaan dan pembentukan NKRI
peran santri juga sangat sangat besar. Bukan hanya
dengan angkat senjata, tetapi juga dalam perundingan-perundingan dan proses
dialektika.Lewat para ulama melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), lahirlah Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologinya dan
NKRI sebagai bentuk negaranya.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan dari santri untuk
NKRI karena peran santri tidak hanya hadir sebagai insan yang bergelut di
bidang spritualitas tetapi juga hadir sebagai insan patriotis membentuk,
mempertahankan dan menjaga NKRI.Dengan adanya Hari Santri yang diperingati
setiap tahunnya pada 22 Oktober menjadi penegasan dan pengakuan negara bahwa
kaum santri memiliki sumbangsih besar untuk negeri. Pada saat yang sama Hari
Santri juga merupakan momentum untuk mengingat sejarah peran ulama dan santri, sejalan
dengan jargon Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama).
Dalam konteks kekinian bagaimana peran santri di
tengah tantangan yang begitu kompleks di era globalisasi yang penuh dengan
kompetisi.
Belum lagi kemajuan teknologi dan
arus informasi yang jika tidak siap menghadapinya maka akan tergilas oleh
zaman.Maka santri saat ini mesti menjadi anak zaman yang bisa menghadapi
zamannya. Jika dulu di zaman penjajahan santri mampu
tampil heroik, maka sejatinya di zaman sekarang pun santri mesti mampu tampil
heroik pula dalam menghadapi tantangan era globalisasi.Presiden Joko Widodo
menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Peringatan ini didasari di
tanggal tersebut pada 1945 pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asyari
mendeklarasikan Resolusi Jihad.
Awal mulanya resolusi jihad diserukan untuk merespons
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang mencoba menjajah kembali
Indonesia. KH Hasyim Asy'ari bersama dengan ulama lainnya wakil-wakil dari
cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21- 22 Oktober
1945. Para ulama tersebut kemudian mendeklarasikan perang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia sebagai perang jihad.Para santri dan pemuda berjuang
dalam barisan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara itu para
kiai berada di barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh KH Wahab Abdullah.
Isi dari Resolusi Jihad tersebut yakni, menegaskan
bahwa hukum membela Tanah Air adalah fardhu ain bagi setiap islam di Indonesia.
Tak hanya itu dalam Resolusi Jihad juga ditegaskan bahwa muslimin yang berada
dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan
Belanda. Setelah resolusi, para kiai membentuk barisan pasukan Sabilillah yang
dipimpin oleh KH Maskur. Dua minggu setelah Resolusi Jihad tersebut terjadilah
pertempuran 10 November 1945.
Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam memperingati Hari
Santri Nasional ini mengingatkan pentingnya santri atau pemuda untuk tidak lupa
terhadap sejarah bangsa Indonesia. Tak hanya itu ia juga mengatakan bahwa
Pancasila dan Resolusi Jihad yang digaungkan oleh KH Hasyim Asyari mampu untuk
melahirkan nasionalisme di Indoensia. "Agama dan nasionalisme harus
seiring sejalan dan saling menguatkan, bahkan Pancasila adalah perwujudan
Alquran dan Islam itu sendiri dalam sila- silanya."
Tambahkan Komentar