Oleh : Indah Kurnia Sari

Matahari mulai merunduk perlahan di balik barisan pegunungan Temanggung, menyisakan semburat jingga yang membelai lembut hamparan sawah yang menguning. Di sebuah desa kecil yang masih memegang erat tradisi, dua sosok duduk berdampingan di bawah sebuah payung besar berwarna merah marun. Namun, payung itu bukanlah payung biasa.


Nia, gadis desa yang dikenal dengan keanggunannya menari Gambyong, memegang erat pegangan payung itu. Payung tersebut diwariskan dari neneknya, terbuat dari bambu dan kain tradisional yang dihiasi motif batik khas Temanggung. Di bawah payung itu, ia menunggu seseorang yang sudah lama ingin ditemuinya.


Tak lama kemudian, datanglah Rifki, pemuda dari desa sebelah yang selalu membawa layang-layang warna-warni setiap kali berkunjung. Ia tersenyum malu saat melihat Nia, dan duduk di sampingnya. Mereka berdua berbeda, bukan hanya dari desa, tetapi juga cara pandang dan mimpi yang mereka bawa.


“Kenapa kau memilih payung ini?” tanya Rifki sambil menunjuk payung merah marun yang kokoh menahan gerimis senja.


Nia tersenyum, “Payung ini bukan hanya pelindung dari hujan atau terik matahari. Ini warisan budaya, simbol perlindungan dan harapan. Di bawahnya, aku merasa terhubung dengan akar dan cerita nenek moyang kita.”


Rifki mengangguk, “Aku membawa layang-layang ini bukan hanya untuk bermain. Layang-layang itu melambangkan kebebasan dan impian yang terbang tinggi, meski terkadang terombang-ambing angin.”


Mereka berdua pun berbagi cerita tentang tradisi desa masing-masing. Nia bercerita tentang tarian Gambyong yang mengajarkan kesabaran dan keindahan gerak, sementara Rifki mengisahkan tentang festival layang-layang yang selalu mempersatukan warga dari berbagai desa.


Senja semakin memudar, dan awan mulai menggantung rendah. Tiba-tiba, hujan rintik-rintik turun menyapa. Nia membuka payung merah marun itu, dan mereka berdua berteduh di bawahnya. Air hujan menetes di sisi payung, menciptakan ritme alami yang menenangkan.


“Senja ini terasa berbeda,” kata Nia lirih. “Bukan hanya karena hujan, tapi karena kita di sini bersama, di bawah payung yang berbeda.”


Rifki menggenggam tangan Nia, “Aku juga merasakan hal yang sama. Mungkin perbedaan kita justru yang membuat momen ini istimewa.”


Di bawah payung yang sama, mereka menemukan jembatan antara tradisi dan impian, antara masa lalu dan masa depan. Senja yang awalnya biasa berubah menjadi saksi bisu sebuah pertemuan yang menghangatkan hati.


Ketika hujan reda, mereka berdiri bersama, membiarkan payung merah itu menutup kembali. Dengan langkah ringan, mereka berjalan menyusuri jalan setapak desa, meninggalkan jejak di tanah basah.


“Besok, aku akan mengajarkanmu menari Gambyong,” kata Nia sambil tersenyum.


“Dan aku akan membawamu terbangkan layang-layangku,” balas Rifki penuh semangat.


Mereka tahu, di bawah payung yang beda itu, kisah mereka baru saja dimulai.

Bagikan :

Tambahkan Komentar