Oleh : Tri Nadya septiyaningrum

Rumah tua itu berdiri di pinggiran Desa Wonosari, terlindung oleh pohon-pohon tinggi yang seakan membentengi dari dunia luar. Atapnya berlumut, dindingnya retak-retak, namun masih kokoh berdiri. Rumah peninggalan keluarga Pak Wiryo itu kini dihuni oleh dua orang saja: Putri, gadis 17 tahun, dan ibunya.


Mereka datang setelah kematian ayah Putri yang mendadak. Untuk sementara waktu, ibunya memutuskan tinggal di rumah warisan itu, dengan alasan menenangkan diri. Namun sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana, Putri sudah merasa ada yang aneh. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan di lorong atas, ada empat pintu kayu yang berjajar rapi. Semuanya tampak biasa… kecuali pintu keempat.


Sore itu, saat hujan turun pelan dan angin menderu lembut, ibunya berbicara dengan nada serius:


"Putri, dengarkan Ibu baik-baik. Di atas ada empat pintu. Yang tiga, boleh kamu buka. Tapi yang paling ujung, yang keempat—jangan pernah dibuka. Apa pun yang terjadi.”


Putri menelan ludah. Ia tahu nada ibunya itu bukan untuk main-main.


 “Kenapa, Bu? Ada apa di balik pintu itu?”


“Kamu tidak perlu tahu. Tapi dengarkan Ibu. Jangan. Pernah. Buka.”


Putri menurut—pada awalnya.


Malam-Malam yang Aneh


Hari-hari berikutnya berlalu dalam keheningan. Ibunya sering duduk diam sambil menatap kosong ke luar jendela. Sementara Putri mulai menjelajahi isi rumah. Lorong atas menjadi tempat favoritnya, entah kenapa. Mungkin karena misterinya.


Ia pernah mencoba mendekat ke pintu keempat, hanya untuk mendengarkan. Awalnya, tak terdengar apa-apa. Tapi pada malam ketujuh, segalanya berubah.


Pukul 02.00 dini hari, Putri terbangun. Ia mendengar langkah pelan—tap… tap… tap…—di atas plafon. Suara itu berpindah-pindah, berhenti tepat di atas kamarnya. Ia menahan napas. Kemudian, suara lain datang, dari atas.


 “Tolong… bukakan… aku dingin…”


Suara itu seperti bisikan angin, tapi sangat dekat. Putri bergidik. Ia menutupi kepala dengan selimut, berharap itu hanya mimpi. Tapi malam berikutnya, suara itu kembali: 


“Sudah terlalu lama… pintu itu… harus dibuka…”


Putri mulai kehilangan rasa takut. Yang tumbuh malah rasa penasaran yang menyiksa.


Kunci dan Pilihan

Seminggu kemudian, saat ibunya tertidur, Putri menyelinap ke ruang tamu. Di dalam laci tua yang berdebu, ia menemukan sebuah kunci besi berkarat. Entah kenapa, ia tahu itulah kuncinya.


Ia naik ke lantai atas, menyusuri lorong yang kini terasa lebih gelap dari biasanya. Ketiga pintu pertama telah ia buka sebelumnya—hanya ruangan kosong dan perabot tua. Tapi pintu keempat… selalu menantinya.


Tangannya gemetar saat menyisipkan kunci ke lubang. Ia sempat ragu.


 “Hanya lihat sebentar… lalu aku tutup lagi…”


Klek.


Pintu terbuka perlahan, menciptakan suara derit panjang dan nyaring. Angin dingin keluar dari dalamnya, membuat seluruh tubuh Putri menggigil.


Ruangan itu gelap. Sangat gelap. Tidak ada jendela. Tidak ada cahaya. Hanya… sepasang mata yang muncul perlahan dari dalam kegelapan. Mata hitam legam, kosong, dan mengerikan.


"Akhirnya… kau datang…”


Putri hendak mundur, namun tubuhnya tak mau bergerak. Sosok itu muncul—seorang perempuan dengan tubuh tinggi kurus, rambut menjuntai hingga lantai, dan wajah pucat tanpa mulut.


Makhluk itu mendekat. Ia menyentuh bahu Putri dengan tangan dingin seperti es batu. Saat ia menempelkan dahinya ke dahi Putri, terdengar suara dalam kepala:


“Giliranmu di dalam…

Sudah terlalu lama aku menunggu.”


Seketika pandangan Putri menggelap.


Keesokan Harinya


Ibunya terbangun dan mendapati kamar Putri kosong. Dipanggil-panggil, tak ada jawaban. Ia naik ke atas, dan mendapati pintu keempat tertutup rapat.


Ia menjerit dan menangis di depan pintu itu, menyadari apa yang terjadi. Tapi sudah terlambat.


Malam-malam setelahnya, dari balik pintu keempat, terdengar suara lirih yang membuat darah membeku:


“Bu… tolong… aku dingin…”


Tapi sang ibu tak berani lagi membuka pintu itu. Ia hanya bisa berdoa di depan pintu—pintu yang seharusnya tidak pernah dibuka.

Dan hingga hari ini, konon, siapa pun yang tinggal di rumah itu akan mendengar suara yang sama.


 “Tolong… bukakan… aku ingin pulang…”


Tapi jika kau pernah melihat empat pintu di ujung lorong, ingat satu hal: Pintu keempat bukan untukmu. Bukan untuk siapa pun.

Bagikan :

Tambahkan Komentar