Oleh: Audia Widyaningrum
Mentari pagi baru saja mengintip di balik deretan perbukitan, namun Bima sudah siap dengan ransel dan kamera kesayangannya. Udara sejuk pegunungan masih menusuk tulang, tetapi semangatnya membara. Fotografi, itulah dunia yang telah mencuri hatinya sejak bertahun-tahun lalu. Baginya, setiap jepretan bukan hanya sekadar gambar, melainkan sebuah cerita, sebuah emosi yang terekam abadi.
Hari itu, tujuannya adalah lembah tersembunyi yang konon menyimpan keindahan alam yang tak terjamah. Ia melangkah perlahan, matanya awas mengamati sekeliling. Daun-daun basah oleh embun, serangga kecil yang sibuk di antara kelopak bunga, hingga jejak kaki binatang hutan yang samar di tanah lembap—semua adalah potensi objek. Ia tahu betul, keindahan seringkali tersembunyi dalam detail-detail kecil yang luput dari pandangan mata biasa.
Sebuah kupu-kupu dengan sayap biru elektrik hinggap di ujung daun pakis. Jantung Bima berdesir. Perlahan, ia mendekat, mengatur fokus, dan menekan tombol rana. Klik! Sebuah karya seni tercipta. Kupu-kupu itu seolah membeku dalam waktu, detail sayapnya yang halus terekam sempurna.
Tak jauh dari situ, ia menemukan sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Airnya jernih, mengalir deras memecah bebatuan. Bima mengambil posisi, memasang tripod, dan mencoba berbagai sudut pandang. Ia membayangkan bagaimana cahaya pagi akan bermain di antara tetesan air, menciptakan pelangi mini yang memesona. Ia membiarkan shutter terbuka lebih lama, berharap menangkap efek air yang lembut seperti kapas.
Waktu berlalu tanpa terasa. Bima tenggelam dalam dunianya, berdialog dengan alam melalui lensanya. Setiap kali ia berhasil menangkap momen yang sempurna, ada rasa kepuasan yang melingkupinya—rasa bahagia yang tak tergantikan. Bukan karena ia ingin pamer atau mencari pujian, melainkan karena ia berhasil mengungkapkan apa yang ia lihat dan rasakan.
Siang mulai merangkak naik ketika Bima memutuskan untuk kembali. Ranselnya kini terasa lebih berat, bukan karena beban fisik, melainkan karena penuh dengan hasil jepretan yang luar biasa. Ia tahu, pekerjaan belum selesai. Sesampainya di rumah, ia akan menghabiskan berjam-jam di depan komputer, mengolah foto-foto tersebut, memberikan sentuhan akhir agar setiap gambar bisa bercerita lebih lantang.
Bagi Bima, fotografi bukan sekadar hobi. Itu adalah cara ia melihat dunia, cara ia bernapas, dan cara ia menemukan kedamaian. Dalam setiap bidikan, ia menemukan potongan-potongan keindahan yang seringkali terlupakan, dan di sanalah ia menemukan jati dirinya.
Tambahkan Komentar