Oleh : Tri Nadya septiyaningrum

Pergantian musim di Temanggung bukan sekadar perubahan cuaca, tetapi juga perubahan suasana, ritme hidup, dan tantangan yang tak bisa dianggap remeh. Saat musim hujan perlahan undur diri, langit mulai menjernih, dan sinar mentari memancar lebih lama. Namun, peralihan menuju musim kemarau tidak datang dengan lembut. Ia hadir bersama angin kencang dan hawa dingin yang menusuk, menjadi ciri khas Temanggung di bulan-bulan peralihan.


Temanggung yang berada di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing memang memiliki keunikan tersendiri. Saat musim berganti, angin timuran yang membawa udara kering mulai mendominasi. Daun-daun kering berjatuhan, ranting bergoyang liar, dan kadang terdengar bunyi berderak dari bambu atau genting rumah yang bergesekan akibat tiupan angin yang kuat. Bagi warga, ini adalah tanda-tanda alam yang tak asing lagi musim kemarau telah menjejakkan kaki.


Selain angin, hawa dingin juga semakin terasa, terutama di pagi dan malam hari. Temperatur di dataran tinggi Temanggung bisa turun hingga belasan derajat Celsius, menciptakan embun tebal yang menyelimuti ladang dan kebun. Dingin ini bukan hanya membuat orang enggan mandi pagi, tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan seperti masuk angin, batuk, atau flu, khususnya pada anak-anak dan lansia.



Hawa dingin yang menusuk, terutama saat malam dan pagi, menjadi teman sehari-hari masyarakat dataran tinggi. Suhu bisa turun drastis, menciptakan embun tebal yang menyelimuti ladang dan halaman rumah. Bagi petani, terutama petani tembakau, inilah masa yang penuh harapan sekaligus ujian. Mereka mulai menyiapkan lahan dan bibit, berharap musim kemarau akan membawa cuaca cerah yang stabil agar tembakau bisa tumbuh dan dikeringkan dengan sempurna.


Namun, angin kencang dan suhu dingin juga membawa risiko. Ranting patah, atap rumah beterbangan, bahkan ladang bisa rusak jika tidak dijaga dengan baik. Anak-anak mulai batuk, lansia menggigil di balik selimut tipis. Para orang tua pun lebih waspada, menghangatkan air lebih sering, dan menyeduh wedang jahe atau wedang uwuh untuk menjaga daya tahan tubuh keluarga.


Di sisi lain, momen ini juga menjadi waktu kontemplatif bagi masyarakat Temanggung. Saat langit bersih dan kabut menyelimuti kaki gunung, suasana menjadi lebih hening. Doa-doa dipanjatkan di langgar dan mushala kampung, meminta agar musim kemarau datang dengan berkah, bukan bencana. Tradisi selametan atau kenduri kecil kadang digelar sebagai bentuk syukur dan harapan akan hasil panen yang baik.


Pergantian musim hujan ke musim kemarau di Temanggung bukan hanya cerita tentang cuaca, tetapi juga tentang manusia yang bertahan, menyesuaikan diri, dan terus hidup berdampingan dengan alam. Di tengah angin yang menderu dan udara yang menggigit, warga Temanggung tetap teguh menggantungkan harapan pada tanah yang subur dan langit yang semakin cerah. 

Sebab, dari lereng-lereng dingin inilah kehidupan terus tumbuh, mengakar, dan menguat.

Bagikan :

Tambahkan Komentar