oleh : Ratna Sari

Mentari pagi baru saja mengintip di ufuk timur, namun embun sudah membasahi daun-daun di sepanjang jalan. Seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar delapan tahun, dengan hati-hati meletakkan keranjang bambu di pinggir jalan yang mulai ramai. Namanya Rio, dan hari ini, keranjangnya penuh dengan bunga melati yang baru dipetik subuh tadi. Wanginya semerbak, mencoba menembus udara pagi yang dingin.


Rio bukan anak yang biasa bangun siang. Sejak ibunya sakit dan ayahnya harus bekerja keras di luar kota, dialah yang sering membantu perekonomian keluarga. Setiap pagi, ia memetik bunga melati dari kebun kecil di samping rumah, lalu membawanya ke tepi jalan ini.


"Melati! Melati harum!" suara Rio kecil, kadang tenggelam oleh bisingnya motor dan mobil yang melintas. Beberapa orang melirik, sebagian tersenyum, tapi tak banyak yang berhenti. Rio tak berkecil hati. Ia tahu, rezeki itu seperti embun, datang sedikit demi sedikit, tapi menyejukkan.


Pagi itu, seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi berhenti di dekatnya. Wajahnya ramah. "Berapa ini, Nak?" tanyanya sambil menunjuk setangkai melati yang terikat rapi.


"Seribu saja, Bu," jawab Rio, matanya berbinar.


Wanita itu tersenyum dan mengambil beberapa tangkai. "Rajin sekali kamu, Nak. Sekolah?"


Rio mengangguk. "Pulang sekolah baru jualan lagi, Bu."


"Hebat," puji wanita itu, membuat pipi Rio sedikit memerah.


Waktu terus berjalan. Panas matahari mulai terasa menyengat. Keranjang Rio belum juga kosong. Keinginannya untuk membeli obat untuk ibu semakin kuat. Ia ingat perkataan ibunya, "Setiap usaha pasti ada hasilnya, Nak. Tuhan itu adil."


Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti. Jendela mobil terbuka, menampakkan seorang anak perempuan sebaya Rio. Rambutnya diikat rapi, seragam sekolahnya bersih, dan di tangannya tergenggam sebuah es krim.


"Mama, lihat bunga itu!" seru anak perempuan itu, menunjuk keranjang Rio.


Seorang wanita lain, mungkin ibunya, menoleh. "Mau bunga, Nak?"


Anak perempuan itu mengangguk antusias. "Beli yang banyak, Ma! Cantik sekali!"


Rio merasakan jantungnya berdebar. Ini kesempatan besar. Dengan senyum paling manis, ia menyodorkan keranjangnya. Wanita di dalam mobil membeli hampir separuh dari bunga-bunga Rio. Rio merasa seperti mendapat hadiah lotre. Uang hasil jualannya hari ini akan cukup untuk membeli obat dan sedikit beras.


"Terima kasih, Bu! Terima kasih banyak!" ucap Rio dengan suara penuh syukur.


Mobil itu melaju pergi, meninggalkan Rio yang masih terpaku. Ia menatap sisa bunga di keranjangnya, lalu mendongak ke langit yang biru. Ada sepotong pelangi yang tak terlihat, membentang di hatinya. Pelangi itu bernama harapan, yang muncul setiap kali ia berjualan, setiap kali ada kebaikan yang menghampiri, dan setiap kali ia bisa membantu keluarganya.


Rio tahu, hidup mungkin tak selalu mudah, tapi setiap tangkai melati yang ia jual adalah jembatan menuju hari esok yang lebih cerah. Ia pun bergegas pulang, tak sabar menceritakan hari baiknya kepada sang ibu. Wangi melati masih menempel di tangannya, aroma perjuangan dan cinta yang tak akan pernah pudar.

Bagikan :

Tambahkan Komentar